Hamil lagi setelah keguguran sungguh menyimpan kekhawatiran. Hamil kali ini rasanya pergulatan batin riuh sekali. Khawatir banyak hal, termasuk khawatir keguguran berulang karena kondisi kehamilannya persis dengan kehamilan sebelumnya yang sama-sama muncul flek atau perdarahan. Karena itu, aku mesti bedrest di trimester 1 dan dipantau oleh dokter spesialis kandungan seminggu sekali. Rasanya, mental, fisik, materi, dll terkuras sekali.
Namun, lambat laun, alhamdulillah kondisiku membaik, janinku pun berkembang sesuai usianya tanpa ada tanda-tanda bahaya. Memasuki trimester 2, kondisi badan dan mentalku rasanya better banget daripada saat menghadapi trimester 1. Sayangnya, hal ini nggak berjalan mulus karena di akhir trimester 2 aku mesti isolasi mandiri di RSI Banjarnegara. Yap! Hamil 22 weeks dengan positif Covid-19 siapa yang nggak khawatir? Tapi lagi-lagi, kami bisa melewati ini semua. Beruntungnya punya suami dan mami yang superpengertian.
Setelah boleh pulang, tentu saja aku sangat khawatir dengan efek virus Covid-19 ke janin. Sebisaku mengumpulkan informasi dari berbagai sumber dan konfirmasi langsung ke dokter spesialis kandunganku. Alhamdulillah, pelan-pelan aku pulih dan bisa beraktivitas seperti biasa meskipun terbatas karena perut yang makin membesar dan rasa engap yang sering datang.
Drama Air Ketuban Makin Berkurang
Aku pikir, drama hamilku ini sudah kelar, tinggal menunggu proses persalinan. Namun, aku salah! Ternyata di usia 34 weeks aku harus menjalani opname karena air ketubanku nyaris kering. Salah satu penyebabnya adalah karena aku jarang sekali minum air putih. Sampai akhirnya, mau nggak mau, aku harus mencukupi kebutuhan cairan dengan cukup minum (meskipun saat itu hanya bisa minum Pocari Sweat). Nggak kehitung deh sudah berapa ratus botol Pocari Sweat yang aku minum sampai sekarang karena keterusan. Wkwkwk
Untuk pertama kalinya aku juga merasakan injeksi pematang paru-paru demi adek di dalam perut. Rasanya masya Allah, otot terasa pegal dan ada sedikit sensasi gatal-gatal. Kalau nggak salah, dulu aku dapat 4 kali suntikan untuk pematang paru-paru. Hal ini sebagai antisipasi jika anakku perlu dilahirkan prematur mengingat air ketubanku yang sangat minim.
Alhamdulillah, setelah opname selama 4 hari, air ketubanku sudah bertambah. Artinya, kehamilanku bisa tetap bertahan sampai cukup bulan atau di atas 37 weeks. Setelah pulang dari RS, aku pun mengurangi aktivitas. Lebih banyak bedrest daripada kerja di depan laptop. Rasa khawatir seperti di trimester 1 muncul lagi. Namun, semua ini aku coba jalani dengan penerimaan terbaik. Semuanya karena Allah, aku pasarahkan pada-Nya.
Air Ketuban Pecah di 36 Weeks
Siang itu, aku masih ingat betul suami mengajakku segera pulang dari rumah adik karena mau salat Jumat. Begitu sampai di rumah, aku duduk di depan laptop sembari mengerjakan task yang masuk. Sementara itu, suamiku mandi untuk bersiap ke masjid. Tiba-tiba, seluruh badanku rasanya pegal dan capek sekali. Padahal cuma duduk di depan laptop. Akhirnya, aku memutuskan untuk menutup laptop dan mulai rebahan untuk sekadar istirahat.
Baru 5 menit rebahan dan main handphone, tiba-tiba aku seperti merasakan pipis (tapi bukan pipis, rasanya tuh nggak bisa tertahankan). Jadi, tiba-tiba saja, keluar cairan banyak. Begitu menyadari ternyata ini yang namanya air ketuban. Aku pun memanggil suami yang sedang mandi, dia berbegas untuk melihat kondisiku dan tanpa pikir panjang kami langsung menuju RSIA Ummu Hani Purbalingga.
Begitu tiba di RS, aku langsung masuk ke IGD dan dicek ternyata sudah pembukaan 2. Perawat dan bidan pun optimis aku bisa lahiran pervaginam. Setelah suami mengurus administrasi pendaftaran, aku pun diantar ke ruang bersalin sambil menunggu pembukaan bertambah. Saat itu aku nggak boleh banyak gerak, apalagi turun dari bed karena khawatir air ketubanku makin banyak yang keluar.
Sedihnya, dari pukul 13.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB pembukaan nggak bertambah dan air ketuban terus mengalir. Alhasil aku langsung dibawa ke poli kandungan untuk dilakukan USG. Rasanya campur aduk banget karena berkali-kali dicek pembukaan tetapi nggak nambah-nambah. Mana sakit banget lagi kalau dicek pembukaan seperti ini. Uhuhuhu
Berdasarkan hasil USG, air ketubanku memang sudah sangat sedikit. Jika dilihat, dedenya sudah tertekan di dalam rahim karena air ketubannya sudah keluar banyak. Jadi, dokter memberikan dua opsi, yakni induksi atau operasi cesar. Setelah mempertimbangkan berbagi hal, kami memilih operasi caesar (SC) mengingat kondisinya sudah urgent. Apapun metode lahirannya, yang penting ibu dan bayinya sehat, setuju nggak?
Persiapan Operasi Caesar di RSIA Ummu Hani Purbalingga
Jujur, sebelumnya aku nggak punya gambaran seperti apa proses lahiran caesar. Semuanya aku pasrahkan sama Allah. Apapun yang terjadi, insya Allah yang terbaik. Sebelum masuk ruang operasi, bulu vagina dicukur bersih, lalu dipasang kateter. Aku agak kecewa dengan SOP RSIA Ummu Hani Purbalingga terkait pemasangan kateter atau selang urin. Jadi, pemasangan kateter ini dilakukan sebelum proses bius. Rasanya sakit dan traumanya sampai sekarang. Huhuhu
Selain itu, ganti baju operasi juga nggak leluasa karena aku dan pasien operasi SC lainnya ganti baju di ruang antre sebelum masuk ke ruang operasi. Makin sedih karena harus berganti baju di atas kursi roda tanpa bantuan suami atau keluarga. Padahal, di ruang tunggu, ada banyak 3 pasien di situ. Terlebih, air ketubanku sudah pecah sehingga ganti baju operasi pun susah karena setiap gerak pasti air ketuban keluar banyak.
Kayanya waktu itu, aku perlu menunggu 30 menitan sampai akhirnya namaku dipanggil untuk masuk ruang operasi yang superdingin. Nah, untuk cerita lengkap terkait pengalaman lahiran caesar di RSIA Ummu Hani Purbalingga aku buat di artikel setelah ini, ya! Stay tune! Semoga teman-teman yang mau lahiran selalu mendapatkan kuatkan dan sehatkan. Lancar-lancar semuanya. Aamiin